Batu Cincin Orang Pinggiran
Seorang
kawan, yang berprofesi sebagai pedagang di Bukittinggi, menyumbangkan koleksi
dua batu cincinnya buat Museum Orang Pinggiran.
Namanya Syafrizal St. Tumbijo. Dia memang suka memakai cincin untuk menambah
kepercayaan dirinya. Dia tergolong orang pinggiran karena kampungnya di Birugo
Puhun (puhun = udik) dan pendidikan terakhirnya hanya Sekolah Dasar (SD).
Namun, ketiga anaknya bersekolah. Yang sulung malah tingkat terakhir di Jurusan
Akuntansi Universitas Andalas, Padang. Yang nomor dua sudah berada di tahun
kedua di Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Padang. Yang bungsu seorang siswa
SMA 5 di Bukittinggi.
Saya
tidak tahu persis nama kedua batu cincin itu. Yang jelas kedua batu cincin ini
tergolong batu akik (bukan batu mulia) dan sudah diikat dengan perak. Keduanya,
di Sumatra Barat, disebut lumuik
(lumut).
Bagi
peminat batu cincin, tentu saja koleksi dua batu cincin ini sama sekali tidak
menarik. Namun, bagi saya, kedua batu cincin ini merupakan aksesoris seorang
orang pinggiran. Dengan segala keterbatasannya, dia telah berusaha untuk
mengoleksi batu cincin. Usaha mengoleksi batu cincin ini yang saya hargai.
Betapa
tidak. Pada saat bergulat dengan nasibnya, Syafrizal masih sempat mengoleksi
batu cincin untuk dirinya. Dalam usahanya mencukupi kebutuhan hidup, dia masih
sempat menyisihkan uang untuk membeli batu cincin. Dengan pengetahuannya yang
terbatas tentang berbagai jenis dan rupa batu cincin, dia sudah memutuskan batu
cincin yang akan dikoleksinya. Lalu, dua batu cincin dari koleksinya
dihibahkannya buat Museum Orang Pinggiran.
Sungguh
hebat sikap seorang Syafrizal.
0 komentar: