Pertama, Dompet bermerk Wacoal. Merk ini biasanya
dipakai oleh pakaian dalam perempuan.
Entah
mengapa, merk ini mendadak menjadi merk dompet laki-laki. Entah mengapa pula,
aku tiba-tiba bisa melihat dompet ini di Supermarket Gardena, Yogyakarta pada
24 Mei 1988 dan langsung membelinya. Yang jelas inilah dompet kulit pertama yang kubeli dalam posisiku sebagai dosen
Fisipol UGM.
Kedua, dompet bermerk Rolfs. Aku membelinya di
Watertown, AS, pada 30 Desember 1992, dalam perjalanan pulang dari Albany
menuju Toronto. Ini dompet kulit kedua
yang kubeli semenjak menjadi dosen Fisipol UGM.
Ketiga, dompet dari kulit ikan pari. Merknya raja
pari. Aku membelinya tidak lama setelah menjadi Kepala Unit Humas dan
Keprotokolan UGM, persisnya pada 5 Januari 2003. Aku membelinya “sepasang”:
dompet uang dan dompet kartu, seharga Rp 300.000. Namun, yang kupajang di sini
hanya dompet kartu, sebagai kenanganku
pernah menjadi Kepala Unit Humas dan Keprotokolan UGM.
Keempat, dompet tidak bermerk. Namun, ia terbuat dari
kulit buaya. Aku membelinya di Merauke pada 13 Juli 2009 malam, sepulang
mewawancarai Eko Ari Prabowo, lulusan UGM yang menjadi guru SMP Negeri 1
Muting, 365 km dari kota Merauke. UGM memutuskan Eko sebagai salah seorang
lulusan UGM berprestasi dalam peringatan Dies Natalis ke 60 UGM. Dompet ini menjadi kenangan bahwa aku sudah
pernah menginjakkan kaki di Merauke.
Kelima, dompet yang juga tidak bermerk. Aku
membelinya di Bangkok pada 11 Maret 2011, saat menunggu bis yang akan membawa
kami (aku dan 9 mahasiswa JIK UGM) menuju Phnom Penh. Dalam konteks ini, aku
membimbing mahasiswa melakukan perjalanan jurnalistik ke lima negara ASEAN.
Jadi, dompet ini bisa disebut sebagai kenanganku
pernah membimbing mahasiswa JIK UGM melakukan perjalanan jurnalistik ke lima
negara ASEAN.
Keenam, dompet bermerk Yves Saint Laurent. Namun,
harganya hanya Rp 45.000. Kok bisa? Karena kubeli kepada sejawatku di JIK UGM,
Rajiyem. Mengapa aku membeli dompet dari Rajiyem? Terutama, untuk menunjukkan
apresiasiku atas kesediaannya menampung hasil para pengrajin kulit di lingkungannya
berupa tas dan dompet. Maka dompet yang
kubeli pada 26 Juni 2008 ini menjadi
semacam wujud solidaritasku pada “masalah pemasaran” yang dihadapi Rajiyem.
Ketujuh, dompet yang cukup unik. Di bagian
luarnya, tercetak logo Mahkamah Agung. Di bagian dalamnya, ada pula emblem Mahkamah
Agung. Dari kenyataan ini, terkesan bahwa yang boleh memiliki dompet ini hanya
orang-orang yang bekerja di Mahkamah Agung. Atau, bahkan, mungkin Hakim Agung
saja. Namun, aku bisa memilikinya karena dihadiahi oleh Prof. Dr. Paulus
Effendi Lotulung, SH., Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang PTUN pada waktu itu. Aku
menerimanya pada 9 Februari 2013, sebulan sebelum peluncuran biografinya,
sebagai salah satu bentuk apresiasinya terhadap diriku sebagai penulis biografi
itu. Lalu, kuanggap dompet ini sebagai
salah satu tonggak kenanganku terhadap kebaikan Pak Paulus.
Kedelapan, dompet ini bermerk Braun Buffel. Dompet ini
kubeli di Bandara Juanda, Surabaya. Jangan heran bila dompet ini berbeda jauh dengan
dompet Braun Buffel buatan Jerman yang terkenal itu. Soalnya, dompet ini kubeli
dengan harga Rp 100.000 pada 14 November 2013. Dompet ini hanya sebagai kenangan: aku pernah diundang Fakultas
Dakwah, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, untuk bicara soal orientasi teknis
pendidikan ilmu komunikasi.
Kesembilan, dompet ini unik, karena terbuat dari kulit
“mentah”. Aku membelinya di “bazar” di Galeria Mall, Yogyakarta, seharga Rp
125.000 pada 17 Agustus 2013. Ia bisa melengkapi dua tas kerja yang kubeli di
tempat yang sama (Kedua tas ini juga dari kulit “mentah”). Bayanganku, dompet
ini bisa menjadi pasangan tas kerja itu. Ternyata, dompetnya terlalu tebal.
Saku celana jadi mengembung tak karuan dimasuki dompet ini. Aku pun menjadikan dompet ini sebagai salah
satu koleksi saja.