Lukisan Orang Pinggiran


Lukisan ini merupakan hadiah dari Vivin Lizetha yang beralamat di Jl. Urip Sumoharjo 91, Tanah Pak Lambiak, Padang Panjang, Sumatra Barat. Ia merupakan tanda terima kasih Vivin kepada saya atas kesediaan saya membimbingnya menulis skripsi di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM. Sebenarnya ungkapan ini berlebihan. Bukankah sebagai dosen pembimbing skripsi saya sudah digaji untuk membimbing mahasiswa?

Namun, saya tidak sampai hati menolak lukisan tersebut. Apalagi Vivin menyerahkan lukisan itu kepada saya sesaat setelah dia diwisuda sebagai Sarjana Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM! Saya menerima lukisan itu dan menjadikannya sebagai sebuah koleksi Museum Orang Pinggiran.

Menurut Vivin, lukisan itu merupakan lukisan wajah diri saya sebagai orang pinggiran. Tetapi, menurut istri dan anak-anak saya, lukisan wajah itu sama sekali tidak mirip dengan wajah saya. Saya tidak protes. Bagi saya, lukisan wajah saya itu merupakan ekspresi pelukisnya tentang wajah saya yang mungkin saja dia lihat melalui sebuah foto. Ekspresi itu bisa saja merupakan ekspresi perasaannya, pikirannya, atau kedua-duanya.

Sebagai sebuah ekspresi, seharusnya sang pelukis mengendapkan dulu perasaan, pikiran atau kedua-duanya tentang wajah saya (Cara ini juga saya pakai dalam menulis biografi tokoh). Dia menunggu saat yang tepat untuk mengekspresikannya. Dia mencari suasana yang gairah, gembira dan senang untuk mengekspresikan perasaan, pikiran atau kedua-duanya. Sayang, dia tidak punya kesempatan untuk itu. Lalu, lahirlah lukisan wajah saya seperti itu.

Kendati begitu, saya harus menghargai kreativitas sang pelukis. Saya sangat menghargai aspek individualnya tentang foto wajah saya. Saya menghargai ekspresinya terhadap foto wajah saya. Sekalipun ada yang menilai bahwa lukisan wajah itu tidak mirip dengan wajah saya, itulah hasil penajaman perasaannya terhadap wajah saya. Itulah wujud pengalaman perasaannya, pikirannya, atau kedua-duanya tentang wajah saya. Saya harus menerimanya dengan penuh penahanan diri.

Sebagai seorang pelukis, sang pelukis sudah menghadirkan sebuah karya seni. Ketika dia menghadirkan lukisan itu, sebenarnya lukisan itu bisa disebut sebagai representasi seni. Dia telah berupaya mengungkapkan kebenaran atau kenyataan tentang saya yang dilihatnya melalui foto wajah saya. Kalau kemudian ungkapannya itu tidak bisa diterima secara sama oleh penikmat lukisan itu, itu menyangkut persoalan “isi lukisan”. (Abrar)

0 komentar:

Copyright © 2013 Museum Orang Pinggiran and Blogger Templates.